Steven Spielberg dan Noam Chomsky Mengatakan AI Itu Tak Bernyawa dan Menakutkan

etika AI

Steven Spielberg dan Noam Chomsky Mengatakan AI Itu Tak Bernyawa dan Menakutkan

Era Baru Technofobia dan Kecemasan atas Kreativitas Manusia

Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi topik yang tak terhindarkan, namun perdebatan seputar etika AI semakin memanas. Di balik geliat optimisme teknologi ini, muncul kekhawatiran dari dua tokoh besar: Steven Spielberg dan Noam Chomsky. Mereka sama-sama mengungkapkan bahwa AI adalah teknologi yang soulless (tak bernyawa) dan bahkan mengerikan. Mengapa dua figur besar ini merasa perlu mengingatkan dunia tentang bahaya tersembunyi AI?

Spielberg: AI Mengambil Jiwa dari Seni

Steven Spielberg, sutradara legendaris, menyampaikan kegelisahannya terhadap penggunaan AI dalam dunia seni. Ia berkata, “Saya mencintai segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, bukan oleh komputer.”

Spielberg menyampaikan bahwa AI membuatnya gugup karena proses kreatif manusia yang penuh intuisi dan emosi kini digantikan oleh algoritma. “Itu menakutkan,” tegasnya. Baginya, jiwa dalam karya seni adalah sesuatu yang tak bisa dihasilkan oleh mesin.

Chomsky: AI Mengorbankan Kreativitas Demi Amoralisme

Sementara itu, Noam Chomsky, filsuf dan profesor linguistik terkemuka, mengungkapkan keprihatinan yang sama. Dalam sebuah artikel opini di The New York Times, Chomsky menilai bahwa sistem AI seperti ChatGPT telah “mengorbankan kreativitas demi suatu bentuk amoralisme.”

Chomsky menyebut AI sebagai mesin yang cerdas dalam meniru, namun tidak memiliki pemahaman mendalam, empati, ataupun etika. Ia menggambarkannya sebagai “tiruan tanpa makna”—sesuatu yang terlihat cerdas, tapi sebenarnya kosong, apatis, bahkan berbahaya dalam konteks sosial dan budaya. Ini adalah inti dari perdebatan etika AI dari sudut pandang kognitif.

Etika AI dan Gelombang Baru Technofobia

Pernyataan dua tokoh ini mengangkat kembali istilah technofobia—ketakutan terhadap kemajuan teknologi yang dianggap akan merusak aspek kehidupan manusia.

AI memang bukan makhluk hidup. Ia tidak memiliki kesadaran, empati, atau niat. Namun, justru karena itu, AI menimbulkan pertanyaan etika AI yang besar. Jika kita membiarkan mesin menulis cerita, melukis gambar, membuat keputusan hukum atau bahkan menyusun diagnosis medis, sejauh mana kita telah menyerahkan identitas manusia kepada algoritma?

Tantangan Bagi Kreativitas Manusia

Salah satu kekhawatiran utama adalah bahwa AI bisa membunuh kreativitas. Di sinilah relevansi kritik Chomsky dan Spielberg semakin terasa. Ketika algoritma hanya meniru pola dari data masa lalu, tidak ada proses eksplorasi orisinal yang lahir dari rasa ingin tahu, penderitaan, atau kebahagiaan otentik seorang manusia. Hasilnya? Produk yang tampak indah tapi hampa makna dan tidak memiliki ‘soul’ atau jiwa yang dibicarakan Spielberg.

Hal ini sudah mulai terjadi di industri seni visual, di mana seniman memprotes generator gambar AI yang dituding menjiplak ribuan gaya seniman lain tanpa izin untuk ‘berlatih’. Di dunia literasi, penulis mulai kehilangan pendapatan karena munculnya “buku” yang dihasilkan oleh mesin dalam hitungan jam. Pertanyaannya: apakah ini inovasi, atau justru bentuk kolonialisasi kreatif oleh teknologi yang mengabaikan hak cipta manusia?

AI di Tengah Euforia Pasar Teknologi

Meskipun kritik berdatangan, pasar tetap menyambut AI dengan tangan terbuka. Saham perusahaan teknologi seperti Apple, Nvidia, Microsoft, dan Meta mencatatkan kenaikan signifikan karena adopsi AI.

Investor tampaknya lebih tertarik pada potensi keuntungan dibandingkan isu etika AI. Namun, seperti yang dilansir oleh berbagai media finansial (seperti Bloomberg), pertanyaan tentang regulasi dan etika AI jangka panjang tetap menjadi faktor risiko yang harus diperhitungkan.

Haruskah Kita Takut pada AI?

Kita tak bisa menafikan manfaat AI: dari otomatisasi kerja hingga peningkatan efisiensi. Tapi seperti pisau bermata dua, AI bisa menjadi alat produktif maupun ancaman, tergantung pada siapa yang mengendalikannya.

Kekhawatiran Chomsky dan Spielberg bukan berarti menolak teknologi, tetapi ajakan untuk berhati-hati. Kita harus memastikan AI tetap menjadi alat bantu, bukan pengganti manusia.

Manusia Harus Tetap Jadi Pusat

Sebagai lembaga pelatihan digital marketing seperti Argia Academy, kami percaya bahwa pemanfaatan AI harus dibarengi dengan prinsip etika AI, empati, dan kontrol manusia. AI adalah alat yang luar biasa, tetapi ia tidak boleh mengambil alih peran manusia dalam berpikir, merasa, dan mencipta.

Apa gunanya teknologi yang canggih jika kehilangan sisi kemanusiaannya? Mari kita jadikan AI sebagai sahabat kolaboratif, bukan sebagai pengganti yang menakutkan.

[Gabung Argia Academy untuk Belajar Pemanfaatan AI Secara Etis]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

WeCreativez WhatsApp Support
Selamat datang di pelayanan Customer Care Argia Academy
Apa yang bisa kami bantu?
Scroll to Top